Tawuran Pelajar : Menyibak Ruang yang Terlupakan.
02 Oktober 2012 11:12 WIB (Dibaca : 1202)
Oleh : Danik Eka Rahmaningtiyas
Pengantar
Apa yang terlintas dalam pikiran kita saat melihat korban berjatuhan
akibat tawuran pelajar? Miris, takut, sedih, bahkan mengecam atau malah
bangga bahwa wujud dari “jagoan”nya kita. “Tawuran” dan “Pelajar” adalah
dua diksi yang berbeda tentunya jika disandingkan akan memunculkan
artikulasi yang kontroversif.
Tawuran sebagai suatu bentuk perilaku agresi baik yang dilakukan oleh
dindividu atau kelompok. Dalam ilmu psikologi dan sosial agresi merujuk
pada perilaku yang bertujuan membuat objeknya mengalami bahaya atau
tersakiti baik secara verbal maupun non-verbal. Myers (1985) mengatakan
bahwa tingkah laku agresif adalah tingkah laku fisik atau verbal untuk
melukai orang lain. Sedangkan menurut Berkowitz (1987), agresi merupakan
suatu bentuk perilaku yang mempunyai niat tertentu untuk melukai secara
fisik atau psikologis pada diri orang lain. Jadi, tawuran sebagai
bentuk perilaku yang memiliki konotasi negatif dan merugikan orang lain.
Sementara itu pelajar sebagai orang yang sedang dalam proses belajar;
mencari ilmu dengan menggunakan potensi akal dan hati nurani (dimensi
kebenaran) dalam rangka mencapai proses pendewasaan diri. Sehingga jika
diksi “tawuran” dan “pelajar” disandingkan menjadi sebuah istilah yang
kontroversif, karena ada salah satu diksi yang tidak berjalan sesuai
tugas dan fungsinya. Misal “pelajar” ada peran atau elemen pendukung
lainnya yang tidak tuntas dalam proses dalam internalisasi makna
tersebut.
- Menurut Moyer (1968), dalam sudut pandang biologis-evolusi ada tujuh bentuk agresi yakni :
- Agresi pemangsa : serangan terhadap mangsa oleh pemangsa. Misal : kaum borjuis kepada kaum proletar, dsb.
- Agresi antar jantan : kompetisi antar sesama spesies dan jenis yang sama. Misal : perebutan betina, dsb.
- Agresi akibat takut : agresi yang dihubungkan dengan upaya menghindari ancaman. Misal : istri membunuh suami karena terlalu sering disiksa dan disakiti.
- Agresi teritorial : mempertahankan suatu daerah teritorial dari penyusup, kadang juga bisa terjangkit pada kelopok esktrimis. Misal : para pejuang kemerdekaan.
- Agresi maternal : agresi perempuan/betina untuk melindungi anaknya dari ancaman (agresi biologis/natural)
- Agresi paternal : agresi laku-laki/ayah untuk melindungi keluarganya.
- Agresi instrumental : agresi yang ditujukan untuk mencapai suatu tujuan. Agresi ini dianggap sebagai respon yang dipelajari terhadap suatu situasi.
Jadi secara biologis dan evolutif (nature) manusia memiliki
kecenderungan berperilaku agresi, namun ada faktor penguat seperti
proses belajar dan lingkungan (nuture factor). Selain itu menurut
Sigmund Freud, sejak lahir individu membawa dua insting yakni insting
hidup (eros) dan insting mati (thanatos) yang harus diseimbangkan untuk
stabilisasi mental yang menghasilkan pilihan sikap yang bijaksana.
Agresi sebagai sebuah derivasi[1]
dari insting mati (thanatos) saat id (nafsu/dorongan untuk memenuhi
kebutuhan naluriah), ego (unsur kepribadian yang bertanggungjawab
memenuhi dorongan id dengan realitas melalui pikiran sadar) dan
super-ego (unsur kepribadian yang menampung segala standart nilai dan
norma) tidak mampu melakukan kendali dalam mengkaji dorongan individual
tersebut. Insting mati (thanatos) yang bersifat nature ini akan mampu
berkembang pesat, diantaranya disebabkan oleh :
Proses belajar sosial
Proses belajar (learning) terjadi sejak individu lahir hingga dewasa,
dengan melakukan input beragam informasi hingga menghasilkan pola
tertentu. Menurut Bandura dalam learning social theory, individu belajar
melalui proses pengamatan (observation) lalu meniru dan melakukan
identifikasi. Seperti eksperimen bobo-doll yang dilakukan bandura,
bagaimana seorang anak meniru orang dewasa melakukan agresi dengan
memukul-mukul bonekanya. Karena anak melakukan transformasi sebagai
representasi dari pengalaman proses pengamatannya. Bandura mengembangkan
model deterministic resipkoral yang terdiri dari perilaku,
person/kognitif dan lingkungan. Menurut bandura proses mengamati dan
meniru orang lain merupakan tindakan hasil belajar. Teori yang
dikemukakan bandura menjelaskan perilaku manusia dalam konteks interaksi
timbal balik yang berkesinambungan antara kognitif, perilaku dan
pengaruh lingkungan.
Penilaian kognitif
Informasi yang diterima dari luar membentuk suatu kode-kode kognitif
yang menjadi suatu paradigma terhadap objek/fenomena tertentu. Maka akan
terjadi proses identifikasi. Words don’t mean; people mean (Rakhmat,
2008). Menurut Gadne, bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan
informasi kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk
hasil belajar. Dalam pemrosesan informasi terjadi interaksi kondisi
internal dan kondisi eksternal. Kondisi internal adalah keadaan dalam
individu yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan proses
kognitif yang terjadi dalam individu, sedangkan kondisi eksternal adalah
rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses
pembelajaran. Maka kematangan proses berfikir dengan terbentuknya konsep
diri yang kokh menjadi pijakan bagaimana individu mampu melakukan
penterjemahan terhadap fenomena/objek (words don’t mean but people
mean).
Kesempatan, ruang dan waktu menjadi fasilitas luar biasa dalam proses
belajar sosial. Dalam teori belajar pavlovian, stimulus yang diberikan
berulang kali bisa diasosiasikan sebagai sesuatu (sistem instruksi) yang
dibentuk oleh stimulus itu untuk melakukan sesuatu. Sementara dalam
teori belajar skinner, manusia cenderung memilih sesuatu yang nyaman,
menyenangkan dan tidak menyakitkan. Kesempatan, ruang dan waktu mampu
menjadi reinforcement (penguat) individu untuk melakukan sesuatu.
Frustasi
Menurut Dollar dan Miler agresi merupakan pelampiasan dari perasaan
frustasi. Frustasi terjadi apabila suatu harapan yang diinginkan tidak
tercapai atau kenyataan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Dalam
mencapai harapan itu pun bila terjadi hambatan yang berat juga bisa
membuat individu mengalami frustasi. Lalu devend-mekanism bisa berupa
aktifitas-aktifitas destruktif.
Tawuran Pelajar : Suatu Realitas yang Beralasan
Kasus tawuran pelajar SMAN 70 dan SMAN 6 cukup menggemparkan publik,
saat media mengangkat dan banyak stakeholder negeri ini angkat bicara
bahkan hingga respon yang sangat reaktif. Bukankah hampir tiap hari
selalu ada saja tawuran pelajar dari yang kecil hingga tawuran massal
yang melibatkan banyak geng hingga sekolah. Lalu kemana saja perhatian
kita selama ini apakah terlepas begitu saja?
Beragam respon bermunculan dalam menyikapi isu ini, saling menyalahkan
dan menuduh sebagai pihak yang bertanggungjawab dan harus mendapat
sanksi hingga label “dosa”. Beberapa pihak menganggap ini murni
kesalahan habit pelajar yang sudah tidak terkendali, ada pula yang
mengatakan lemahnya pengawasan keluarga dan sekolah, lebih parah lagi
sistem pendidikan yang kurang memperhatikan masalah agama dan moral
sehingga perlu ditambah jam mata pelajaran agama dan moral.
Namun apakah juga bijaksana saat kita menyalahkan pelajar “pelaku
tawuran” tersebut? Dalam kasus apapun, cobalah sedikit menanggalkan
egoisme kita dengan tidak melihat kasus dari prespektif pemerhati saja
(outside actors). Tetapi mencoba membangun empati dengan menggali dari
prespektif pelaku. Bukan justifikasi salah-benar, tapi mencari tahu
mengapa hal tersebut sampai dilakukan.
Jika kita lihat dari kajian teoritis yang dipaparkan diatas, serta
mencoba mengenal karakter pelajar (dalam rentang usia remaja) yang
memiliki karakteristik semangat dan ego yang tinggi, memerlukan
pengakuan publik, ingin mencoba, serta andrenalin pembuktian tantangan
yang besar. Harusnya pihak-pihak pemerhati mencoba menempatkan dirinya
pada posisi pelajar dengan benturan realitas kehidupan yang beragam.
Tak dapat dipungkiri kita perlu mengetahui proses belajar sosial mulai
dari keluarga, sekolah hingga lingkungan bermain. Beban hidup yang berat
seperti masalah keluarga, kedisiplinan yang berlebihan, pola pendidikan
yang otoriter, beban belajar/pendidikan, persaingan label sosial, dll.
Sementara media dan lingkungan membombardir dengan contoh tindaka/sikap
yang merujuk pada dekadansi moral, agresifitas para pejabat publik dalam
kerangka berfikir pragmatis, saling mencela dan menjatuhkan, korupsi,
pembohongan publik, serta masalah-masalah sosial lainnya yang dilakukan
oleh orang-orang dewasa. Belum lagi pelabelan anak nakal, anak bodoh,
sampah masyarakat, anak jalanan, preman, dll, semakin memacu adrenalin
jiwa andolesen mereka (baca : pelajar) untuk membuktikan bahwa mereka
bukan manusia kelas kesekian yang juga perlu diperhatikan dan pengakuan
publik.
Tawuran pelajar sebagai salah satu bentuk kenakalan remaja (juvenille
delinguency), merupakan bentuk replacement (pemindahan) ataupun
devent-mekanism dari protes sosial baik disadari atau pun tidak disadari
dalam alam pikirannya. Otomatis di dalam proses kognitif individu
maupun kelompok sosial tersebut ada proses yang harus dibenahi, bukan
semata-mata menyalahkan pelajar dengan memberi label negatif.
Dengan demikian bukan berarti kita memaklumi kasus-kasus juvenille
delenguency, ada upaya komprehensif dengan menyadari peran dari
masing-masing unsur yang tidak berjalan dengan baik. Juga tidak elok
apabila kita membiarkan tanpa memberikan sanksi apapun, sanksi tetap
harus ditegakkan sebagai proses pembelajaran sosial bukan hanya untuk
pelaku namun juga pelajar yang lainnya. Dengan adanya sanksi bukan
berati mengkebiri latar-belakang pilihan sikap/perilaku yang dipilih.
Kasus seperti ini merupakan hal sensitif yang harus diselesaikan dengan
memahami masalah dari beragam sudut pandang, bukan shock lalu menanggapi
dengan reaktif pula. Beberapa hal yang harusnya menjadi evaluasi
bersama, yakni :
Mengembalikan peran seluruh stake-holder sesuai dengan tugas peran dan
perkembangannya. Khususnya orang-orang dewasa agar tidak senantiasa
melakukan tindakan/perilaku yang menjadi contoh pembentukan identitas
pelajar. Karena disadari atau tidak, hal yang dilakukan berulang akan
menjadi penguatan (reinforcement) dalam memory.
Pengawasan bukan dengan pendidikan yang otoriter, tekstual dan disiplin
yang berlebihan. Tapi bagaimana orang dewasa mampu menjadi sahabat bagi
pelajar dan mengenali dunianya. Karena dalam fase pencarian jati diri
(identitas diri), kelompok-kelompok pergaulan sebaya lebih kuat ikatan
komitmen dan loyalitas daripada ikatan formal (instansi keluarga atau
sekolah).
Pelajar bukan sebagai objek kebijakan atau siklus kehidupan yang
didominasi orang dewasa, ajak mereka menjadi bagian yang perlu
disadarkan dan menyadarkan (peer-education). Hal ini bisa dilakukan
salah satunya melalui sistem pendidikan (formal, informal maupun
non-formal) yang mengutamakan proses pendewasaan, pemanusiaan manusia,
serta membuka ruang dialogis-partisipatoris. Karena apabila konsep diri
telah matang terbentuk fungsi super-ego akan mamapu berjalan menjadi
dewan pertimbangan ego untuk melakukan eksekusi sikap/perilaku.
Setiap manusia memiliki akal dan hati dalam menggerakkan tubuhnya,
sehingga melekat pada diri masing-masing individu hak menentukan pilihan
bersikap. Dan pilihan itu semua memiliki latar belakang dan alasan
(hukum kausalitas). Sehingga yang menjadi “PR” bersama bagaimana agar
pilihan tersebut sesuai dengan term, hak individu tanpa mencerabut
sisi-sisi kemanusiaan (human right) dan hak manusia lainnya.
Sudah saatnya pelajar pun perlu dimengerti, dan pelajar pun harus
bangkit dan menyadari bahwa merekalah yang akan mampu merubah bangsa dan
dunia ini.
PERJUANGAN PELAJAR TIDAK AKAN BERAKHIR!
http://www.muhammadiyah.or.id/id/artikel-tawuran-pelajar--menyibak-ruang-yang-terlupakan-detail-292.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar